Minggu, 26 Februari 2012

TUTORIAL

Kerangka Akuntabilitas Pers Indonesia: Mana yang Lebih Baik?
Irsanti Widuri Asih Dosen FISIP-UT
Pers Indonesia mengalami titik perubahan paling signifikan saat bertiup angin reformasi di tahun 1998 mengiringi tumbangnya rezim orde baru. Dinamika pers Indonesia pascareformasi mengalami pasang surut. Tulisan ini akan mengulas empat kerangka akuntabilitas yang diajukan Dennis McQuail, kemudian mengaitkannya dengan beberapa kasus yang terjadi di dunia pers Indonesia, dan mencoba menetapkan kerangka yang paling baik untuk dijadikan acuan oleh pers Indonesia agar mampu menghasilkan dan memfungsikan diri sebagai pers yang memiliki akuntabilitas yang dapat diandalkan. Di samping itu, materi ini juga mengacu ke Modul 1 Buku Materi Pokok Teknik Mencari dan Menulis Berita (SKOM4430).
Dalam kajian media massa, McQuail (2005: 211-215) mengungkapkan pemikirannya mengenai empat jenis kerangka akuntabilitas (frames of accountability) yang dapat dijadikan sebagai kerangka acuan bagi hubungan antara media dan “pihak-pihak tertentu” yang kerap mengajukan tuntutan, yang terkadang ditengahi juga melalui adanya pihak ketiga sebagai pengambil keputusan.



The Frame of Law and Regulation (Kerangka Hukum dan Aturan)
Kerangka ini mengacu pada semua kebijakan publik, hukum dan peraturan yang mempengaruhi struktur media dan kegiatan operasional media. Tujuan kerangka ini adalah untuk menciptakan dan menjaga kondisi interkomunikasi di masyarakat yang bebas dan luas, dan untuk memastikan bahwa apa yang diberitakan oleh media massa tidak ada yang merugikan masyarakat dan individu.
Mekanisme dan prosedur yang digunakan pada kerangka ini mencakup peraturan y a n g berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh media. Dalam mengatur kegiatan yang berhubungan dengan media massa, Indonesia telah memiliki perangkat aturan, baik yang bersifat formil maupun yang bersifat sanksi moral. Kita telah memiliki Undang-undang Pers No. 40 tahun 1999 yang di dalamnya mengatur koridor bagi insan pers dalam menghasilkan karya jurnalistik dan segala hal yang berkaitan dengan kegiatan pers. Selain itu, wartawan Indonesia juga memiliki Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Pedoman Perilaku Penyiaran, yang semuanya memberikan “aturan main” bagi kegiatan komunikasi massa.
Contoh kasus yang bisa mengilustrasikan kerangka hukum dan aturan ini adalah kasus sandiwara makelar kasus (markus) gadungan yang dihadirkan oleh stasiun televisi TVOne pada 18 Maret 2010. Pada kasus ini, Andis Ronaldi (seorang freelance sebuah media hiburan) mengaku telah menjadi markus di Mabes Polri selama 12 tahun. Polri yang merasa dirugikan reputasinya, berupaya mengungkap siapa sesungguhnya Andis Ronaldi. Kepada polisi akhirnya Andis mengaku diminta berbicara sesuai skenario yang dibuat oleh presenter di TVOne seolah-olah ia adalah markus di Mabes Polri. Polri yang merasa citranya tercemar akibat ulah TVOne bersama sang markus gadungan, mengadukan masalah ini ke Dewan Pers. Polri memutuskan untuk menyelesaikan kasus ini melalui mekanisme koridor UU Pers, antara lain berupa pemenuhan hak jawab, permohonan maaf kepada publik, dan berjanji untuk tidak mengulang kesalahan yang sama.
The Market Frame (Kerangka Pasar)
Meskipun pasar (the market) tidak selalu dapat dilihat sebagai mekanisme yang signifikan untuk mengukur akuntabilitas publik (public accountability), namun pasar bisa dijadikan sebagai alat untuk menyeimbangkan kepentingan organisasi media dan kepentingan khalayak. Mekanismenya sama seperti proses yang umum terjadi, yaitu hubungan antara permintaan (demand) dan persediaan (supply) dalam sebuah pasar yang bebas dan kompetitif, yang idealnya dapat memunculkan kinerja media yang baik, dan menenggelamkan kinerja media yang jelek.
Fokus utama dari kerangka market accountability adalah pada aspek kualitas komunikasi dari kaca mata konsumen, yang tidak hanya dilihat dari segi konten media, namun juga dilihat dari segi teknisnya. Dalam kerangka ini, pasar selayaknya membawa peningkatan kualitas terhadap kinerja media melalui mekanisme kompetisinya. Sistem pasar ini tidak membutuhkan adanya regulasi atau peraturan dari luar, karena secara alamiah sistem ini akan mengatur dan mengoreksi penyimpangan yang terjadi. Namun, sistem pasar mendapat kritikan tajam karena dinilai terlalu komersial dengan semata mengejar keuntungan dan tidak memedulikan kualitas informasi yang disampaikan kepada khalayak.
The Frame of Public Responsibility (Kerangka Tanggung Jawab Publik)
Kerangka ini mengacu pada fakta bahwa organisasi media adalah juga institusi sosial yang memiliki kewajiban moral untuk melakukan kewajiban publik, yang kadang sudah berada di luar target mereka dalam mencapai tujuan organisasi (profit making) dan menyediakan lapangan pekerjaan.
Mekanisme dan prosedur dalam kerangka ini terwujud dalam aktivitas kelompok penekan (pressure groups), termasuk di antaranya adalah organisasi konsumen media dan survey opini publik. Dalam kerangka ini, media diharapkan dapat menyediakan forum bagi publik untuk secara langsung menyuarakan kepentingan mereka, misalnya melalui acara debat publik, reviu dan kritikan, yang berfungsi sebagai alat kontrol sosial.
Sejak munculnya wacana pemilihan secara langsung para pemimpin Indonesia, baik pada tataran nasional, yaitu pemilihan presiden/wakil presiiden secara langsung sejak pemilu tahun 2004, sampai tataran di bawahnya, yaitu pemilikan kepala daerah (Gubenur/Walikota/Bupati), saya menganggap media massa di Indonesia telah berperan sangat besar dalam mengemban tugas sosial. Ketika Indonesia tengah bersiap-siap untuk melakukan pemilihan umum, kita dapat melihat media, baik cetak maupun elektronik, berupaya melakukan fungsinya sebagai penyuara kepentingan rakyat dalam mengetahui bagaimanakah kualitas para calon pemimpin mereka.
The Frame of Professional Responsibility (Kerangka Tanggung Jawab Profesi)
Kerangka ini mengacu pada akuntabilitas yang muncul dari adanya rasa menghormati dan pengembangan etika profesional dari para pekerja media, seperti jurnalis, yang menentukan sendiri standar kinerja yang baik (standards of good performance). Kerangka ini juga berlaku di berbagai asosiasi pemilik media, editor, produser, dan sebagainya yang bertujuan untuk memberi perlindungan terhadap kepentingan industri media melalui peraturan internal.
Sistem akuntabilitas ini biasanya berhasil karena adanya komitmen dari media untuk menjaga profesionalitas mereka. Namun dalam praktiknya kerangka ini juga memiliki keterbatasan, terutama pada pengaplikasiannya yang sempit dan tidak memiliki tekanan yang kuat bagi media yang powerful. Secara umum, profesionalisme tidak dikembangkan dengan sungguh-sungguh oleh media, dan pekerja media memiliki otonomi yang kecil dalam hubungan dengan pihak manajemen dan pemilik.
Keempat karangka media yang diajukan McQuail tersebut, memiliki berbagai keterbatasan. Kerangka hukum barangkali bisa diandalkan, namun dalam kenyataan seringkali tidak ditegakkan secara sungguh-sungguh, maka terkesan hukum di Indonesia yang berhubungan dengan media massa menjadi hukum yang tidak bergigi. Kerangka pasar sepertinya tidak atau belum dapat diterapkan untuk Indonesia, karena ”selera” khalayak Indonesia justru menyuburkan konten media yang menomorsekiankan kualitas. Ada semangat yang cukup dapat diharapkan dari media melalui kerangka ini untuk mau menghasilkan produk yang bisa dipertanggungjawabkan yang mereka sajikan kepada khalayak, karena kerangka ini sangat bertautan dengan kredibilitas dan sense of pride dari profesi jurnalis yang mereka sandang. Tanggung jawab profesi sifatnya tidak memaksa, namun tumbuh dari dalam diri jurnalis atas kesadaran untuk melakukan tugasnya karena ada rasa cinta pada profesi, dan dengan sendirinya berusaha memelihara rasa cinta itu.***(Sumber : Hal 10 KOMUNIKA No. 51 / Tahun XVII / 2011) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar