Kerangka Akuntabilitas Pers Indonesia : Mana yang Lebih Baik?
Irsanti Widuri Asih Dosen FISIP-UT
Pers Indonesia
mengalami titik perubahan paling signifikan saat bertiup angin reformasi di
tahun 1998 mengiringi tumbangnya rezim orde baru. Dinamika pers Indonesia
pascareformasi mengalami pasang surut. Tulisan ini akan mengulas empat kerangka
akuntabilitas yang diajukan Dennis McQuail, kemudian mengaitkannya dengan beberapa
kasus yang terjadi di dunia pers Indonesia, dan mencoba menetapkan kerangka
yang paling baik untuk dijadikan acuan oleh pers Indonesia agar mampu
menghasilkan dan memfungsikan diri sebagai pers yang memiliki akuntabilitas
yang dapat diandalkan. Di samping itu, materi ini juga mengacu ke Modul 1 Buku
Materi Pokok Teknik Mencari dan Menulis Berita (SKOM4430).
Dalam kajian media massa, McQuail (2005: 211-215) mengungkapkan pemikirannya mengenai empat jenis kerangka akuntabilitas (frames of accountability) yang dapat dijadikan sebagai kerangka acuan bagi hubungan antara media dan “pihak-pihak tertentu” yang kerap mengajukan tuntutan, yang terkadang ditengahi juga melalui adanya pihak ketiga sebagai pengambil keputusan.
The Frame of Law and Regulation (Kerangka Hukum dan Aturan)
Dalam kajian media massa, McQuail (2005: 211-215) mengungkapkan pemikirannya mengenai empat jenis kerangka akuntabilitas (frames of accountability) yang dapat dijadikan sebagai kerangka acuan bagi hubungan antara media dan “pihak-pihak tertentu” yang kerap mengajukan tuntutan, yang terkadang ditengahi juga melalui adanya pihak ketiga sebagai pengambil keputusan.
The Frame of Law and Regulation (Kerangka Hukum dan Aturan)
Kerangka ini mengacu pada semua kebijakan publik,
hukum dan peraturan yang mempengaruhi struktur media dan kegiatan operasional
media. Tujuan kerangka ini adalah untuk menciptakan dan menjaga kondisi
interkomunikasi di masyarakat yang bebas dan luas, dan untuk memastikan bahwa
apa yang diberitakan oleh media massa tidak ada
yang merugikan masyarakat dan individu.
Mekanisme dan prosedur yang digunakan pada kerangka
ini mencakup peraturan y a n g berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan oleh media. Dalam mengatur kegiatan yang berhubungan dengan
media massa , Indonesia telah memiliki perangkat
aturan, baik yang bersifat formil maupun yang bersifat sanksi moral. Kita telah
memiliki Undang-undang Pers No. 40 tahun 1999 yang di dalamnya mengatur koridor
bagi insan pers dalam menghasilkan karya jurnalistik dan segala hal yang
berkaitan dengan kegiatan pers. Selain itu, wartawan Indonesia juga memiliki
Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Dewan Pers,
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Pedoman Perilaku Penyiaran, yang semuanya
memberikan “aturan main” bagi kegiatan komunikasi massa.
Contoh kasus yang bisa mengilustrasikan kerangka hukum
dan aturan ini adalah kasus sandiwara makelar kasus (markus) gadungan yang
dihadirkan oleh stasiun televisi TVOne pada 18 Maret 2010. Pada kasus ini,
Andis Ronaldi (seorang freelance sebuah media hiburan) mengaku telah
menjadi markus di Mabes Polri selama 12 tahun. Polri yang merasa dirugikan
reputasinya, berupaya mengungkap siapa sesungguhnya Andis Ronaldi. Kepada
polisi akhirnya Andis mengaku diminta berbicara sesuai skenario yang dibuat
oleh presenter di TVOne seolah-olah ia adalah markus di Mabes Polri. Polri yang
merasa citranya tercemar akibat ulah TVOne bersama sang markus gadungan,
mengadukan masalah ini ke Dewan Pers. Polri memutuskan untuk menyelesaikan
kasus ini melalui mekanisme koridor UU Pers, antara lain berupa pemenuhan hak
jawab, permohonan maaf kepada publik, dan berjanji untuk tidak mengulang kesalahan
yang sama.
The Market Frame (Kerangka Pasar)
Meskipun pasar (the market) tidak selalu dapat
dilihat sebagai mekanisme yang signifikan untuk mengukur akuntabilitas publik (public
accountability), namun pasar bisa dijadikan sebagai alat untuk menyeimbangkan
kepentingan organisasi media dan kepentingan khalayak. Mekanismenya sama
seperti proses yang umum terjadi, yaitu hubungan antara permintaan (demand)
dan persediaan (supply) dalam sebuah pasar yang bebas dan kompetitif,
yang idealnya dapat memunculkan kinerja media yang baik, dan menenggelamkan
kinerja media yang jelek.
Fokus utama dari kerangka market accountability adalah
pada aspek kualitas komunikasi dari kaca mata konsumen, yang tidak hanya
dilihat dari segi konten media, namun juga dilihat dari segi teknisnya. Dalam
kerangka ini, pasar selayaknya membawa peningkatan kualitas terhadap kinerja
media melalui mekanisme kompetisinya. Sistem pasar ini tidak membutuhkan adanya
regulasi atau peraturan dari luar, karena secara alamiah sistem ini akan mengatur
dan mengoreksi penyimpangan yang terjadi. Namun, sistem pasar mendapat kritikan
tajam karena dinilai terlalu komersial dengan semata mengejar keuntungan dan
tidak memedulikan kualitas informasi yang disampaikan kepada khalayak.
The Frame of Public Responsibility (Kerangka Tanggung Jawab Publik)
Kerangka ini mengacu pada fakta bahwa organisasi media
adalah juga institusi sosial yang memiliki kewajiban moral untuk melakukan
kewajiban publik, yang kadang sudah berada di luar target mereka dalam mencapai
tujuan organisasi (profit making) dan menyediakan lapangan pekerjaan.
Mekanisme dan prosedur dalam kerangka ini terwujud
dalam aktivitas kelompok penekan (pressure groups), termasuk di
antaranya adalah organisasi konsumen media dan survey opini publik. Dalam
kerangka ini, media diharapkan dapat menyediakan forum bagi publik untuk secara
langsung menyuarakan kepentingan mereka, misalnya melalui acara debat publik,
reviu dan kritikan, yang berfungsi sebagai alat kontrol sosial.
Sejak munculnya wacana pemilihan secara langsung para
pemimpin Indonesia, baik pada tataran nasional, yaitu pemilihan presiden/wakil
presiiden secara langsung sejak pemilu tahun 2004, sampai tataran di bawahnya,
yaitu pemilikan kepala daerah (Gubenur/Walikota/Bupati), saya menganggap media
massa di Indonesia telah berperan sangat besar dalam mengemban tugas sosial.
Ketika Indonesia
tengah bersiap-siap untuk melakukan pemilihan umum, kita dapat melihat media,
baik cetak maupun elektronik, berupaya melakukan fungsinya sebagai penyuara
kepentingan rakyat dalam mengetahui bagaimanakah kualitas para calon pemimpin
mereka.
The Frame of Professional Responsibility (Kerangka Tanggung Jawab Profesi)
Kerangka ini mengacu pada akuntabilitas yang muncul
dari adanya rasa menghormati dan pengembangan etika profesional dari para
pekerja media, seperti jurnalis, yang menentukan sendiri standar kinerja yang
baik (standards of good performance). Kerangka ini juga berlaku di
berbagai asosiasi pemilik media, editor, produser, dan sebagainya yang bertujuan
untuk memberi perlindungan terhadap kepentingan industri media melalui
peraturan internal.
Sistem akuntabilitas ini biasanya berhasil karena
adanya komitmen dari media untuk menjaga profesionalitas mereka. Namun dalam
praktiknya kerangka ini juga memiliki keterbatasan, terutama pada
pengaplikasiannya yang sempit dan tidak memiliki tekanan yang kuat bagi media
yang powerful. Secara umum, profesionalisme tidak dikembangkan dengan
sungguh-sungguh oleh media, dan pekerja media memiliki otonomi yang kecil dalam
hubungan dengan pihak manajemen dan pemilik.
Keempat
karangka media yang diajukan McQuail tersebut, memiliki berbagai keterbatasan.
Kerangka hukum barangkali bisa diandalkan, namun dalam kenyataan seringkali
tidak ditegakkan secara sungguh-sungguh, maka terkesan hukum di Indonesia yang berhubungan dengan media massa menjadi hukum yang tidak bergigi. Kerangka pasar
sepertinya tidak atau belum dapat diterapkan untuk Indonesia ,
karena ”selera” khalayak Indonesia
justru menyuburkan konten media yang menomorsekiankan kualitas. Ada semangat yang cukup
dapat diharapkan dari media melalui kerangka ini untuk mau menghasilkan produk
yang bisa dipertanggungjawabkan yang mereka sajikan kepada khalayak, karena
kerangka ini sangat bertautan dengan kredibilitas dan sense of pride dari
profesi jurnalis yang mereka sandang. Tanggung jawab profesi sifatnya tidak
memaksa, namun tumbuh dari dalam diri jurnalis atas kesadaran untuk melakukan
tugasnya karena ada rasa cinta pada profesi, dan dengan sendirinya berusaha memelihara
rasa cinta itu.***(Sumber : Hal 10 KOMUNIKA No. 51 / Tahun XVII / 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar